Jakarta – Plastik pertama kali digunakan manusia sebagai bahan pembungkus ataupun lainnya diperkirakan sejak tahun 1907. Namun, sejak itu pula plastik diam-diam mencengkram planet dan seluruh penghuni ekosistemnya.
Sebuah studi pada 2017 yang diterbitkan dalam jurnal Science Advances menyebutkan sepertiga dari semua sampah plastik dibuang ke alam. Di Amerika Serikat hanya 9% sampah yang didaur ulang.
Diperkirakan sekitar 75% plastik yang dibuang setara dengan 4900 metrik ton atau sebesar 11 pesawat penumpang Boeing 747-8 (pesawat komersial berbadan lebar). Semua plastik yang dibuang pada akhirnya akan merusak lingkungan.
Karena plastik bisa membuat hewan terperangkap di dalamnya atau lebih menyeramkan mengonsumsinya. Bahan ini tidak terurai sehingga bisa bertahan di lingkungan selama puluhan tahun, bahkan berabad-abad.
Membersihkan plastik pada dasarnya mudah bila dilakukan di darat. Caranya cukup berjalan kaki dan mengambilnya.
Namun bagaimana bila sampah plastik itu berserakan di laut? Begini caranya dikutip dari laman Science ABC.
Keberadaan Plastik di Lautan
Plastik ada di seluruh lautan dunia, sebagian besar terkonsentrasi di beberapa bagian karena arus laut yang berputar. Ada lima pusaran dan tumpukan sampah di lautan.
Yang paling terkenal adalah The Great Pacific Garbage Patch dengan area seluas 1,6 juta kilometer persegi. Sementara yang lain ada di Samudra Hindia, dua di Atlantik, dan satu lagi di Samudra Pasifik.
Setiap pusaran terdapat sampah plastik berbagai ukuran. Plastik yang mengapung dan terperangkap akan terus berputar hingga hancur menjadi serpihan yang lebih kecil. Akibatnya sulit dibersihkan, namun tetap bisa dilakukan.
Kantong plastik yang mengambang sering kali disangka ubur-ubur dan kemudian dimakan penyu tempayan. Burung laut Albatros kerap memberi resin plastik kepada anak-anaknya karena mengira itu adalah telur ikan.
Anak-anak burung ini akhirnya mati kelaparan atau organ tubuhnya pecah. Bila terus berlangsung, populasi Albatross ataupun hewan laut lainnya bisa semakin terancam.
Penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar sampah plastik yang berputar ke Great Pacific Garbage Patch sudah berusia puluhan tahun. Kadang kali plastik-plastik ini terseret hingga dekat garis pantai.
Nah, pembersihan pantai ini menjadi salah satu cara terbaik untuk menangani plastik di laut.
Baca Juga: Aeshnina, Siswi Smamio yang Jadi Duta Sampah Plastik Internasional
Pembersihan Sampah Plastik di Lautan
Salah satu upaya membersihkan sampah plastik di lautan dilakukan oleh sebuah lembaga nirlaba asal Belanda, The Ocean Cleanup. Mereka berkomitmen untuk membersihkan plastik dengan cara menyendoknya.
The Ocean Cleanup bercita-cita ingin menghilangkan 90% sampah plastik yang mengapung di lautan. Kegiatan menyendok sampah juga bertujuan agar Great Pacific Garbage Patch bebas sampah.
Mereka menggunakan teknologi pembersihan yang terbaru dan paling fungsional yakni System-002. System ini memiliki penghalang seperti jaring terapung dalam tiga meter yang membentuk huruf U besar dan digerakkan oleh kapal Maersk (kapal laut).
Meskipun bisa efektif, ada dua masalah yang ditemukan pada sistem ini dan kerap kali terabaikan. Yakni kapal-kapal besar yang digunakan untuk menarik jaring memiliki jejak karbon yang cukup besar.
Untuk sekali pekerjaan, kapal-kapal ini menggunakan bahan bakar fosil yang bisa menambah polusi udara dan iklim. Dalam laporan Penilaian Dampak Lingkungan, The Ocean Cleanup menjelaskan dua kapal yang mengoperasikan System-002 melepaskan 600 metrik ton karbon dioksida per bulan ke udara.
Hal ini sebanding dengan jejak karbon yang dikeluarkan seratus mobil di jalan selama setahun penuh.
Masalah kedua berkaitan dengan tangkapan jaring System-002. Plastik yang mengapung bebas sulit dikeluarkan dari air tanpa ikut menjerat ikan, kura-kura, atau satwa laut lainnya.
Ketika sudah terjerat dan akan dikembalikan ke lautan, makhluk-makhluk ini biasanya mati. Karena organisme yang terjerat akan mengalami kesulitan untuk menemukan makanan dan menghindari predator sehingga sangat membahayakan hewan tersebut.
Para ilmuwan organisme yang paling terdampak teknologi ini adalah neuston (sejenis biota yang hidup di permukaan Samudra Pasifik). Ekosistem neuston meliputi siput, kepiting, naga laut, dan ubur-ubur.
Neuston memiliki peran penting dalam rantai makanan berbagai komunitas makhluk laut di samudra. Salah satunya adalah sebagai habitat pembibitan bagi spesies ikan muda dan sumber makanan utama bagi spesies yang terancam punah seperti penyu tempayan.
Mirisnya, hewan-hewan yang termasuk dalam neuston kerap ditemukan hidup di permukaan sampah plastik. Ketika tertangkap kemungkinan masa hidupnya menjadi sedikit.
Baca Juga: Atasi Persoalan Sampah, Pemprov DKI Didorong Gunakan Teknologi Insinerator
Polusi Plastik di Sungai
Sebuah studi tahun 2017 menyatakan sistem sungai global menjadi jalur pembuangan 1,15-2,41 juta ton plastik ke laut setiap tahunnya. Sebanyak 20 sungai dengan pencemaran tertinggi sebagian besar berada di Asia.
Hal ini berdampak pada 21% populasi dunia dan lebih dari dua pertiga (67%) dari masukan global tahunan. Selain itu, lebih dari 90% plastik berasal dari 122 sungai dengan pencemaran tertinggi.
Sebanyak 103 diantaranya berada di Asia, 8 di Afrika, 8 di Amerika Selatan dan Tengah dan satu di Eropa. Air minum termasuk air minum dalam kemasan menjadi penyumbang plastik terbesar dalam pola makan manusia.
Bahkan plastik itu masuk ke dalam usus manusia. Penelitian yang didanai World Wide Fund for Nature (WWF) pada tahun 2019 menyebutkan rata-rata orang menelan sekitar 1.769 partikel mikroplastik kecil setiap minggunya.
Untuk mengekang sumber polusi plastik laut ini, The Ocean Cleanup juga telah mengerahkan kapal bertenaga surya bernama Interceptor di muara sungai yang tercemar. Sampah dikumpulkan oleh penghalang saat air mengalir, lalu dipindahkan ke sabuk konveyor, dan dibuang ke dalam pesawat ulang-alik.
Delapan Interceptor telah mengambil lebih dari 2,2 juta pon plastik dari sungai-sungai di Republik Dominika, Jamaika, Vietnam, Indonesia, dan Malaysia.
Tidak bisa dipungkiri dari 300 juta ton plastik yang diproduksi setiap tahun di seluruh dunia, setengahnya adalah bahan sekali pakai. Seperti kaleng, botol air, wadah makanan, dan lainnya.
Jadi apakah semua plastik bisa diangkut dari lautan? Jawabannya bisa meskipun sulit dilakukan.
Cara terbaik untuk menyelesaikan maslaah ini adalah mengusut dari akarnya. Pendekatan terbaik untuk mengangkat sampah dari lautan tidak berfokus pada bagian menyendoknya di tempat sampah berakhir. Tetapi harus berfokus pada sumber asli plastik tersebut.
Artikel ini telah tayang di https://www.detik.com/ dengan judul “Bisakah Semua Plastik Diangkut dari Lautan? Ternyata…”,
Klik untuk baca: https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-7522905/bisakah-semua-plastik-diangkut-dari-lautan-ternyata
By detik.com