Pengelolaan Sampah Berbasis Rumah Tangga Perlu Dukungan Pemerintah
DENPASAR, KOMPAS — Pemerintah diharapkan memperkuat kapasitas masyarakat dalam mengelola sampah mulai dari rumah tangga. Pengelolaan sampah berbasis rumah tangga pun dinilai lebih efektif dibandingkan dengan pemerintah membangun pusat pengolahan sampah dengan menggunakan skema investasi.
Demikianlah benang merah dari diskusi dan jumpa pers mengenai problematika pembangunan fasilitas Pengolah Sampah Energi Listrik (PSEL) di Bali, Minggu (20/6/2021). Acara itu diadakan Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI), Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali, Nexus3 Foundation, dan BaleBengong di Denpasar. Kegiatan itu juga dirangkaikan dengan kunjungan ke lokasi Bank Sampah Sari Dewi di Desa Tonja, Kecamatan Denpasar Utara.
Diskusi dilatarbelakangi rencana pemerintah membangun fasilitas PSEL di Tempat Pengolahan Akhir (TPA) Sarbagita, di Suwung, Denpasar Selatan. Fasilitas ini menjadi bagian dari program percepatan revitalisasi TPA Sarbagita.
Bali termasuk satu dari 12 lokasi pembangunan fasilitas PSEL di Indonesia. Hal ini sesuai arahan Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan.
Pendiri komunitas peduli lingkungan Griya Luhu Ida Bagus Mandhara Brasika menyatakan, pembangunan PSEL di Bali merupakan langkah mundur dalam upaya pengelolaan sampah. Menurut Mandhara, Gubernur Bali sudah mengeluarkan kebijakan berkaitan dengan pengelolaan sampah, yakni Peraturan Gubernur (Pergub) No 97/2018 dan Pergub No 47/2019 yang mengedepankan keterlibatan masyarakat dalam mengelola sampah.
Di sisi lain, pembangunan fasilitas PSEL juga dinilai berpotensi membebani keuangan pemerintah daerah berkaitan dengan pengoperasian fasilitas PSEL. Pembangunan PSEL direncanakan menggunakan skema kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU).
Senior Advisor Nexus3 Foundation Yuyun Ismawati mengatakan, pemerintah memiliki pengalaman dalam membangun fasilitas pengelolaan sampah untuk energi yang berujung kegagalan karena berbagai faktor. Pada 2016, misalnya, empat pemerintah daerah di Bali dalam Forum Pemda Sarbagita (Kota Denpasar, Kabupaten Badung, Kabupaten Gianyar, dan Kabupaten Tabanan) mengakhiri kontrak kerja sama dengan PT Navigat Organic Energy Indonesia (NOEI).
Hal itu karena proyek pengelolaan sampah untuk menghasilkan energi listrik tidak berjalan sesuai rencana. ”Seharusnya pesan dari Bali ini menjadi pembelajaran agar tidak terulang,” kata Yuyun melalui konferensi video dalam jaringan (daring).
Baca Juga: KLHK Ajak Ormas dan Komunitas Masjid Terapkan Gaya Hidup Minim Sampah
Yuyun menambahkan, penggunaan teknologi termal dalam pengolahan sampah, termasuk untuk PSEL, berisiko menghasilkan limbah bahan berbahaya beracun (B3). Selain itu, sistem pengelolaan sampah yang masih menggunakan cara kumpul, angkut, dan buang, serta penimbunan sampah di TPA juga dinilai akan memengaruhi pengoperasian PSEL.
Sementara itu, mengacu Pergub No 47/2019 tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber, Gubernur Bali Wayan Koster mendorong berkembangnya budaya gotong royong dan kemandirian masyarakat di desa, kelurahan, dan desa adat dalam mengelola sampah berbasis sumber. Pergub tersebut juga mendorong penerapan nilai-nilai kearifan lokal dan adat dalam program pengelolaan sampah berbasis sumber.
Warga di Gang Sari Dewi, Banjar Tegeh Sari, Denpasar Utara, sejak tujuh bulan terakhir menjalankan program pengelolaan sampah dari rumah tangga. Kaum perempuan, terutama ibu-ibu rumah tangga, membentuk dan mengelola Bank Sampah Sari Dewi.
Bank sampah itu menerima sampah anorganik yang memiliki nilai ekonomi, misalnya botol plastik, karton bekas kemasan, dan kresek. Sementara sebagian besar sampah organik dari rumah tangga dikumpulkan dan diolah menjadi kompos. ”Yang masih dikumpulkan dan diangkut ke TPS (tempat pengolahan sementara) adalah sampah residu,” kata Ni Komang Ariani, Koordinator Bank Sampah Sari Dewi.
Sampah residu yang tersisa, antara lain, berupa mika plastik, sedotan plastik, dan styrofoam. Menurut Ariani, sampah dari warga yang harus dibuang ke TPS menjadi jauh berkurang setelah warga memilah sampah di rumah masing-masing. Di sisi lain, warga yang mengikuti program bank sampah memiliki tabungan dari hasil menjual sampah mereka.
Direktur PPLH Bali Catur Yudha Hariani mengatakan, aktivitas pengelolaan sampah oleh warga di Gang Sari Dewi menjadi cerminan pelaksanaan pengelolaan sampah berbasis sumber di tingkat komunitas. Komunitas di Gang Sari Dewi mendapat pendampingan dalam program Zero Waste Cities (ZWC).
”Pergub Bali Nomor 97 Tahun 2018 ataupun Pergub Bali Nomor 47 Tahun 2019 memberikan arahan agar warga bertanggung jawab terhadap sampah yang dihasilkannya,” kata Catur.
Dengan kesadaran warga untuk memilih dan memilah sampah serta mengurangi penggunaan plastik, menurut Catur, Bali tidak memerlukan teknologi insinerator dalam pengolahan sampah di TPA. ”Penguatan warga ini memerlukan dukungan aktif pemerintah,” ujar Catur.
Artikel ini telah tayang di https://kompas.id dengan judul “Pengelolaan Sampah Berbasis Rumah Tangga Perlu Dukungan Pemerintah”,
Klik untuk baca: https://www.kompas.id/baca/nusantara/2021/06/20/pengelolaan-sampah-berbasis-rumah-tangga-perlu-dukungan-pemerintah/.
By kompas.id